Minggu, 21 November 2010

Bagian ke-2: CEO Selalu Benar

Sebagai mantan seorang banker, menyimpan dana tunai sudah menjadi kebiasaanku.  Bukan hal yang aneh, jika hanya ditemukan uang sejumlah lima puluh ribu rupiah saja di dompetku.  Sekedar pas untuk beli bensin atau tranpor Kereta Api dalam kota ber AC.  Jadi jangan heran kalau saya bisa bolak balik ke ATM lebih dari satu kali dalam sehari.  Beruntung tempat tinggalku juga dikelilingi oleh butik ATM dari berbagai bank.  Apalagi sekitar tempat kerjaku.   Salah seorang teman pernah memberi masukkan:”Apa tidak capai mengantri”,ucapnya.  ”Capai sih, tapi kebiasaanku yang mudah mengeluarkan sejumlah dana untuk membeli makanan membuatku merasa lebih bisa mengontrol kalau dana yang ada tidak terlalu mudah diambil,”jawabku ringan.

Seperti biasa malam ini bersiap-siap buat beraktivitas besok.  Semua perlengkapan yang berkaitan dengan kegiatan besok pagi harus dipersiapkan malam ini.  Karena pagi hari selalu menjadi hari yang super ketat.  Kulihat isi dompetku, total hanya ada empat puluh tujuh ribu rupiah.  Ya cukuplah untuk berangkat ke wilayah Kramat, menggunakan kereta dalam kota ber AC, makan siang di rumah makan padang –biasanya habis sekitar duabelas ribu lengkap dengan sebuah pisang ambon-.  Besok hari Selasa jadwal mengajarku memang padat.  Mulai dari pukul 8:00 pagi sampai dengan pukul 20:40 WIB.  Ini sama juga dengan mengajar tiga shift, yaitu: mahasiswa kelas pagi, kelas siang, dan kelas malam.  Keliatannya capai ya?  CEO sering berkomentar seperti itu.
”Aku melihat ibu bekerja seperti ini aja capai, apalagi yang menjalaninya?”, komentarnya.  
O ya ada beberapa kali kudengar CEO berbicara seperti itu.  Tapi sejujurnya, aku tidak merasa capai kod.  Entah mengapa berdiri di depan para mahasiswa, berbagi pengetahuan selalu terasa sangat menyenangkan.  Jadi seperti sedang mengobrol rileks saja, yang penting harus makan siang, beberapa gelas air putih, dan secangkir kopi.  Biasanya adrenalinku terus konsisten meningkat walaupun harus mengajar sepanjang tiga shift tadi.  Berinteraksi dengan para mahasiswa yang tentu saja berusia muda dan enerjik seperti mereka selalu mengingatkanku akan masa-masa muda yang penuh aktivitas.  Mereka seumuran anak-anakku.  Senang saja menghadapi mereka, walau kadang mereka terasa sedikit lambat (dalam menerima materi), tapi melihat semangat belajar mereka jadi semakin bersemangat juga berbagi pengetahuan.  Singkat kata situasi pekerjaan yang aku jalani sangat sangat aku nikmati.   Jadi kalau CEO berkomentar demikian sebenarnya tidak sepenuhnya benar.  Tapi aku tersenyum saja mendengar komentar.  Senyum sambil menatap lekat ke matanya dan menikmati wajah putih bersih, agak bulat, hidung mancung yang selalu membuat aku terus bersyukur telah menjadi pendamping hidupnya.
”Hm..cukuplah empatpuluh tujuh ribu untuk besok, toh pulangnya CEO berjanji menjemputku agar bisa pulang bersama-sama,”pikirku.
”Bu, besok aku perlu dana ya.  Bisa tolong ambil?” terdengar CEO berbicara.  Ops, begitu ya. 
”Ayah, pegang debet card ibu saja ya.  Ibu khawatir tidak ada kesempatan ke ATM besok,”jawabku.  
”Ya, boleh,”lanjutnya.
Aku segera memindahkan kartu ATM ku ke dompetnya sambil kuberitahu nomor PIN nya.  Sekedar mengingatkan saja, sebab disaat membuka kartu tersebut sebenarnya CEO sendiri yang membuat nomor PIN nya.  CEO membuat sesuai tanggal yang aku yakin selalu diingatnya.  Tapi mengingat CEO memang memiliki beban fikiran yang besar, ya kuingatkan lagi berapa nomor PIN debet card tersebut.
”Ok”, CEO menjawab ringan.  Ucapannya memang selalu terdengar menyenangkan dan sedikit menggoda kalau berbicara.  Hal-hal inilah yang selalu membuat aku semakin dan semakin yakin bahwa CEO adalah pendamping hidup terbaik buatku.  Walaupun kami tak pernah yakin apakah kami saling mencintai.  Aneh ya?

Tepat pukul 06:15 aku bergegas meninggalkan rumah.  Berpamitan spesial terhadap CEO dan limabelas menit kemudian sudah bergabung dengan ribuan komuter didalam kereta api dalam kota ber AC.  Berdiri dan agak padat, tetapi perjalanan cara ini selalu menyenangkan buatku.  Pertama, bebas macet. Kedua, murah. Tiketnya hanya delapan ribu rupiah.  Bandingkan dengan harga bensin pertamax yang harus aku keluarkan jika  berangkat menggunakan kendaraan pribadi.  Dan ketiga,  jarak tempuhnya hanya sekitar duapuluh menit.  Efektif dan efisien.  Asal tidak membawa perlengkapan yang terlalu berat, seperti laptop dan LCD sekaligus.   Karena menenteng keduanya selama duapuluh menit lumayan memerlukan energi.  Sementara jika aku taruh di bagian atas tempat barang, khawatir terlupa.  Maklumlah pernah dua kali aku ketinggalan perlengkapan berharga karena lupa mengambilnya kembali disaat turun.  Dan kedua barang tersebut tidak pernah kembali sampai sekarang.  Entahlah, apa ada bagian ”Lost and Found” dilingkungan transportasi jenis ini.
”Itu faktor umur,”canda CEO.
”Ya, ihklaskan saja,”imbuhku.

Sesuai perkiraan pukul 07:30 aku sudah tiba di kampus yang katanya para mahasiwanya siap untuk masuk dunia indusri segera setelah lulus kuliah.   Pakem pertama masuk kampus adalah mampir ke toilet.  Sepanjang gerbang sampai lantai kedua –tempat dimana toilet favoritku berada-  para mahasiswa yang berusaha tampil keren tersebut memberi ucapan salam Hm, mereka sopan-sopan sekali ya.  Beberapa ada juga yang mengajak bersalaman bahkan mencium tanganku.  Nah, biasanya kalau sudah satu orang mulai mencium tanganku yang lain pasti melakukan hal yang sama.  Wah, kapan sampai di toilet ya?   ”Para mahasiwaku yang cantik dan ganteng, yang wanita boleh cium tangan tapi yang laki-laki tidak perlu ya nak,”kataku dengan nada suara seorang ibu terhadap anaknya.   Aku tahu hal tersebut mereka lakukan karena respek, tetapi melihat mereka sudah besar-besar bahkan badannya lebih besar dariku, risih juga ya diperlakukan seperti itu.  Bagiku menundukan kepala sambil tersenyum sudah cukup.

”Asslammualaikum bu,”suara ramah  Odi –office boy yang selalu sedang membersihkan ‘wash-bassin’ ketika aku datang-.
“Waallaikumsalam Odi, apa kabar.  Toilet kosong,”tanyaku spontan.
”Ya bu kosong, silahkan,” jawabnya.
Wuih, ramah dan sopan sekali ya dia.   Ya inilah enaknya menjadi dosen disini.  Semuanya ramah dan sopan.  

Harum rasa lemon tercium lembut begitu memasuki toilet.   Aku suka harumnya, selalu membuatku kangen kembali ke kampus disaat libur panjang akhir semester.  Mengambil air wudhu, shalat dhuha, dilanjutkan mempercantik wajah.  Semua nya beres dalam waktu duapuluh menit saja.   Masih ada sisa waktu sepuluh menit, untuk mengambil daftar hadir dan meminta bagian pendidikan mempersiapkan peralatan kuliah.

Harus melewati satu tahap anak tangga untuk sampai di ruang dosen.
”Assalammualaikum bu Gemala,”sahabat terbaikku bu Ida menyapa ramah.
”Waalallikumsalam Warrahmatullahhiwabarakatuh bu Ida, sehat,” jawabku riang.  Kami saling menempelkan pipi kanan dan kiri.  Di ruang dosen sudah hadir beberapa dosen lain dengan jadwal yang sama.  Ada Pak Muti,  Ibu Asti, Ibu Syarief,  Ibu Eldrida, dan beberapa dosen lainnya.   Setelah saling menyapa, kamipun bersiap-siap menuju kelas masing-masing.  Semua kelas ada di lantai ke empat.  Satu lantai lagi, Ayo semangat!!!

Jam-jam pada shift kesatu, kedua, dan ketiga berlalu dengan sangat menyenangkan.  Dosen dan mahasiswanya bersemangat.  Handphoneku berbunyi.  Ada pesan masuk.   Siapa lagi kalau bukan dari CEO yang sudah siap dihalaman parkir.   Harus segera.  Kasihan kalau CEO harus menunggu lama.  
”Alright, class I think time is over.   So, why don’t we close our lecture by praying together,”kataku dalam bahasa Inggris.
Ya..walaupun materi yang aku berikan bukan bahasa Inggris, tapi dikelas kami selalu berusaha menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar.  Tujuanku untuk melatih diriku dan juga melatih mahasiswaku terbiasa berbicara dalam bahasa Inggris.
Salah seorang mahasiswa memimpin doa bersama, isinya kurang lebih seperti ini:

Dear Gog Almighty,
We thank you,
That the lecture has gone smoothly.
We hope this will be useful for our future career.
Please protect us, on our way home.
Amin.

Cukup bagus kan doanya.  Mereka memang aku latih mengucapkan doa tersebut.  Tapi sesungguhnya doa itu bukan karangan asliku.  Yang menyusun kata demi kata tersebut, adalah salah seorang rekan dosen senior yang kukagumi.  Ibu Tatiek, namanya.  Kami sangat akrab.  Aku suka doa yang selalu beliau ajarkan kepada mahasiswanya.  Kebetulan beliau memang dosen bahasa Inggris.  Jad kucontek saja doanya yang kunilai bagus itu.  Terimakasih ya bu.  Semoga melalui doa tersebut amal ibadah ibu terus bertambah dan bertambah lagi. Amin.

”Maksih ya mba Indah,”kataku pelan sambil menyerahkan daftar hadir.  Aku segera turun.  Dua lantai kebawah lagi.  Cepat tapi tetap harus hati-hati.  Tangganya lumayan curam dan tidak ada ’slippery steps’ nya. 

Dari gerbang kampus, sedan hitam yang selalu berkilat bersih itu sudah menunggu di parkiran tidak jauh dari gerbang.  Hanya berjarak limapuluh meteran.  CEO selalu penuh percaya diri memarkir kendaraannya didekat gerbang.   Terlihat bayangan kepalanya dibalik kaca mobil.    Aku segera duduk disebelahnya.  Rupanya CEO sedag asyik melihat berita gunung Merapi.
”Sampe jam berapa ayah,”sapaku.
”Pas aku sms tadi,”katanya.
”Makasih ya sudah menjemput,”kataku lagi sedikit meledek.
”O..tidak apa-apa bu, senang menjemput ibu,”katanya dengan gaya yang juga meledek.

Mobil meluncur pelan keluar lingkungan kampus.  Jalanan ramai lancar.  Maklum sudah pukul 20:45.
”Tadi aku tidak jadi ambil uang dari debet-card,”tiba-tiba CEO berkata.
”Lho, kenapa?”tanyaku agak heran.”Kan  uang ayah sudah disimpan di debet-card ibu semua,”Lanjutku lagi.
”Kartunya diblokir ATM,”jawabnya ringan.
”Kod bisa?”lagi-lagi aku keheranan.
”Aku tiga kali salah pencet nomor PINnya,”jawabnya santai.
”Lalu?”tanyaku lagi mulai cemas.  Maklum semua dana operasional rumah tangga masih tersimpan disana.
“Ya, ibu perlu ke bank untuk membuka pemblokirannya,”katanya lagi.
Aku mulai mengerutkan kening.  Waduh..kapan bisa ke bank  Seminggu ini jadwal kuliah begitu padat.  Tidak seperti karyawan kantoran yang bisa izin saat jam kantor, aku tidak bisa meninggalkan murid-muridku untuk mengurus hal tersebut?” pikirku.  Tapi pertanyaan itu cuma ada dalam pikiran.  Kalau dilihat dari cara bicaranya, nyata sekali CEO tidak akan mau disalahkan dalam kasus ini.  Jadi aku berusaha menahan diri untuk menyalahkannya.
“Ibu tidak mencatatkan sih nomor PINnya,”tambahnya lagi.
Betulkan kan CEO mulai menunjukkan sikap-sikap seolah-olah ini salahku.
”Biasanya kan ibu selalu mencatatkan nomor PINnya.  Kod kali ini tidak.  Aku jadi lupa,”setidaknya tiga kali kalimat itu diulang-ulangnya.
”Kan ayah tahu nomor PIN nya sesuai dengan tanggal ulangtahun ibu,”aku mencoba sedikit membela diri tapi dengan intonasi suara yang semanis mungkin.
”Ya nomor-nomor atmnya ada penutupnya, jadi aku salah pencet,” katanya lagi.
”Harusnya kalau sudah salah kedua, ayah telepon ibu,”jawabku masih berusaha mengomentari alibinya.
”Aku pikir yang ketiga pasti benar,”katanya lagi.
Wah.wah..sudahlah pembicaraan sepertinya memiliki potensi untuk memanas.  Aku tahu CEO pasti banyak beban pikiran.  Lelah phisik maupun psikis.  CEO sudah mau meluangkan waktu ke ATM mengambil uang sendiri, sudah bagus.  Terlebih CEO juga sudah mau meluangkan waktu menjemputku.  Kedua hal itu saja sudah merupakan pengorbanan yang luar biasa bagi orang sesibuk CEO. Jadi aku berusaha tidak membahasnya lebih lanjut.  Aku tidak perlu penjelasan lagi.  Aku juga tidak perlu menuntutnya untuk meminta maaf, karena akan membuat sedikit repot.  Aku juga tidak perlu kesal karena solah-olah aku yang dipersalahkan dalam kasus ini.  Yang terpenting bagaimana bisa secepatnya mengurus kartu yang terblokir, sehingga operasional rumah tangga tidak terganggu?   Aku segera mengalihkan pembiacaraan pada hal-hal lain yang lebih menyenangkan.  Dimulai dengan pertanyaan: ”Ayah sudah makan malam?”.  Tanyaku.
“Belum, yuk cari tempat makan,” responnya cepat.
CEO selalu benar…


Tidak ada komentar:

Posting Komentar