Suara dering khas Nokia berbunyi tepat jam 03:00 dinihari. Seperti biasa sang CEO terbangun. Tapi tidak seperti hari-hari sebelumnya, kali ini beliau tidak menyelimuti diriku. Selimut yang biasanya tercecer kemana-mana dibiarkan saja. Aku yang tidur tanpa berselimut ditinggalkannnya begitu saja. Padahal baru tiga hari yang lalu aku memujinya di depan sahabatku –Ida-. Aku ceritakan bahwa setiap dia terbangun tepat jam 03:00 dini hari – dimana saat itu aku ikut terbangun juga- dia selalu dengan hati-hati menyelimuti diriku sehingga mulai dari ujung kaku sampai leher terselimuti sempurna. Jujur saja, saya senang diperlakukan seperti itu. Makanya walaupun aku sudah terbangun biasanya pura-pura tidur saja. Entah dia tahu atau tidak ya sikapku tersebut?
Tidak berapa lama tersengar suara kran di kamar mandi berbunyi nyaring. Itu tanda sang CEO sedang mandi. Semua ritual mandi dilakukannya tidak kurang dari 30 menit. Mulai dari membersihkan diri, menyikat gigi, mencukur jenggot, dan mengolesi rambutnya dengan ’lotion’ anti rontok rambut. Ah...dia memang sangat pembersih dan perduli dengan penampilannya, padahal aku saja yang perempuan paling cuma perlu waktu 10 menit untuk mandi. Tapi harus kuakui hasil kerja kerasnya membersihkan diri membuatnya sedap dipandang mata. Hal itu sering membuat diriku merasa sangat beruntung telah dinikahinya delapan-belas tahun yang lalu.
Aku tetap tidak beranjak dari atas kasur. Bagiku bangun jam begini terlalu pagi. Bunyi pintu kamar mandi membuatku melanjutkan memejamkan mata tetapi sambil terus mengamati kegiatannya. Tentu hanya dengan mengandalkan indra pendengaranku saja. Sepertinya dia mulai memilih-milih baju yang akan digunakannya untuk shalat malam. Biasanya dia memilih baju koko hitam atau putih, terkadang kemeja motif batik lalu dipadupadankan dengan kain sarung dan kopiah. Dia punya banyak kopiah. Itu semua merupakan pemberian dari adik, kakak, dan papaku sepulang menunaikan ibadah haji. Ya tidak satupun dari kopiah-kopiah itu yang dibelinya sendiri. Tapi cuma satu kopiah yang sering digunakan olehnya, yaitu kopiah berwarna hitam dengan sulaman benang perak. Kopiah itu katanya pas dengan bentuk kepalanya, jadi paling enak dipakai. Kopiah tersebut diberi oleh adik bungsu saya yang sepulangnya dari Mekah tiga tahun yang lalu. Sudah lama ya, tapi tetap terlihat bagus dan terawat. Begitulah dia, selalu merawat barang-miliknya dengan baik.
Ruang shalat kami letaknya tepat disebelah ruang dimana kami biasa tertidur. Ruang itu disekat oleh pintu geser yang posisinya selalu dibuka. Jadi klo dia shalat disana, aku dapat dengan jelas melihat bagian belakang tubuhnya. Shalatnya lama. Dia selalu memilih ayat yang panjang-panjang rupanya. Jumlah seluruh rakaatnya selalu sebelas rakaat. Tepat jam 03:50 biasanya saya terbangun. Hal yang pertama saya lakukan adalah menyikat gigi lalu mengambil air wudhu. Tanpa berganti baju saya bergegas menuju ruang shalat untuk mengambil mukena dan sajadah. Seperti hari-hari yang lalu aku lihat dia masih belum menyelesaikan shalatnya. Aku biasanya shalat diruangan dekat kasur tidur. Itu karena shalat malamku biasanya cepat saja, yaitu dua rakaat shalat tahajud ditambah tiga rakaat shalat witir. Doanyapun dipilih yang pendek-pendek. Dia suka meledek sikapku ini. Makanya aku menghindar shalat didekatnya. Biasanya aku cuma membalasnya dengan senyum jika dia meledek perihal shalatku yang cepat dibandingkan dirinya. Ritual shalatku cuma perlu waktu limabelas menit. Selanjutnya konsentrasi tertuju ke dapur. Menyiapkan sarapan untuknya dan kedua anak kami. Bukan hanya itu. Kedua anakku senang membawa bekal nasi ke sekolah. Jadilah pagi hari merupakan saat-saat yang penuh tekanan karena semua harus sudah siap sebelum pk.06:00. O..ya kembali ke CEO, beliau kulihat masih terus bersimpuh di sajadahnya. Terus berdoa sampai adzan subuh tiba. Dia terlihat begitu khusu dan fokus. Berbeda dengan aku yang selalu tergesa-gesa. Tapi aku sempat tertegun, pagi ini dia terlihat agak lemah dan kurang semangat. Dia juga tidak berkata-kata apapun kecuali memintaku membangunkan putra bungsuku agar bersiap-siap shalat subuh. Kenapa ya dia?
Mesjid di komplek kami yang hanya berjarak 50 meter dari rumah kami mulai mengumandangkan adzan subuh. Allahuakabar...Allahuakbar....terdengar keras dengan bantuan pengeras suara. Terlihat dia bergegas keluar rumah menuju mesjid. Tanpa bicara hanya terdengar suara kunci terputar dilubangnya. Dia biasanya membiarkan kami terkunci di dalam rumah. Aku mengintip melalui jendela kamar anakku, kulihat langkah lemah dan tidak secepat biasanya. Ah...Baru kusadari ini hari keempat dia terlihat berjalan begitu lambat, padahal adzan sudah berkumandang.
Banyak pertanyaan yang mampir dikepalaku. Mengapa sejak empat hari lalu dia tidak lagi sibuk menggoda saya. Biasanya ada-ada saja dia menggodaku. Mulai dari menyingkirkan makanan yang hendak kumakan sampai dengan bercanda mengajaku menikmati secangkir kopi. Sejak empat hari ini dia juga tidak lagi memberi pujian. Padahal biasanya berbagai pujian berhamburan dari bibirnya. ”Masakan ibu enak atau ibu super woman atau berbagai pujian indah lainnya”. Bukan hanya itu, sejak empat hari ini juga dia hanya menjawab singkat-singkat setiap pertanyaanku. Duh, jujur situasi ini sangat tidak mengenakkan. Tiba-tiba saja baru kusadari setelah semua keanehan itu berjalan selama empat hari. Ingin bertanya, tapi bagian otakku yang lain selalu melarangnya. Karena dua hari yang lalu pernah aku mencoba bertanya perihal wajahnya yang tampak kurang bersinar, dan dia tidak memberi reaksi apa-apa. Ya, suatu saat yang tepat pasti akan kutanyakan. Karena selama delapan-belas tahun perkawinan kami, komunikasi kami selalu lancar dan penuh keterbukaan. Kadang setelah berbicara dengan penuh kejujuran kami saling kesal. Tapi itu cuma hitungan menit. Setelah itu kami dengan cepat melupakan semuanya dan mulai saling menggoda lagi. Hm manisnya hidup.....
Pekerjaan pagi menggelinding seperti ban berjalan cepat dan terasa singkat. Mataku terus sibuk melirik ke jam dinding, khawatir target sarapan bersama jam 05:30 tidak tercapai. Nasi putih, omellet, pie susu, dan empat gelas teh hangat siap. Alhamdulillah. Dia pun terdengar sudah di depan pintu rumah, pulang dari mesjid. Pas waktunya, selalu akhirnya tersenyum lega karena bisa melalui pagi yang ketat dengan baik.
Menit demi menit berlalu sambil terus mengamati ketidakbiasaan sang CEO, tanpa sekalipun berani bertanya mengapa. Selama delapan belas tahun menikah membuatku hapal betul kapan waktuku untuk bertanya atau mencoba mencari jawaban sendiri jawaban atas semua tanya yang ada. Kucoba mengingat-ingat beberapa hal berkaitan dengan sikapku terhadapnya. Adakah yang salah? Melakukan instropeksi seringkali merupakan cara terbaik untuk menemukan jawaban atas segala tanya. Tapi jawaban belum juga muncul, sambil menunggu jawaban yang terasa pas, mungkin baik melakukan hal-hal yang menyenangkan hatinya. Kutengok jam menunjukkan 05.55, itu artinya kedua buah hati kami harus bersiap-siap menuju sekolah. Aku pun harus bergegas karena tepat pk. 10:00 pagi tidak kurang dari 38 mahasiswa menungguku di kelas. Ada waktu sekitar 3 jam untuk melakukan hal-hal yang menyenangkannya.
Selepas kepergian Alifa dan Alif, saya bergegas mencari abang sayur yang biasa sudah dikerumi sekelompok ibu-ibu di gerbang komplek perumahan kami. Ini sebenarnya tukang sayur langganan kami. Namun biasanya baru lewat depan rumahku sekitar pk.08.00 pagi. Saat saya berangkat ke kantor dipagi hari biasanya saya melihatnya sudah dikerumuni ibu-ibu pembeli di gerbang komplek. Yap...pisang kepok 1 sisir, pisang tanduk 5 buah, termasuk pisak ambon 3 pasang aku beli sekaligus. Pisang ini memang kesukaan sang CEO. Apalagi? O..ya..tahu, tempe, serta brocolli dan kacang merah plus daging sapi. Walau bukan vegetarian, CEO ku memang lebih menyukai sayur-sayuran ketimbang daging-daging atau ikan. Jadi kalaupun mengolah daging hanya diambil kaldunya, sementara dagingnya dibuat empal buat konsumsi aku atau anak-anak.
Yang menjadi prioritas adalah membuat pisang goreng isi keju. Wah ini makanan favorit CEO. Tidak perlu waktu terlalu lama, dalam waktu 30 menit camilan istimewa tersebut sudah terhidang dihadapan sang CEO. ”Ayo pisang goreng isi keju dan susu vanila hanta.” aku berucap sambil senyum semanis mungkin. Ya..kami selalu saling bersikap manis. CEO sekilas menatapkan camilan kesukaannya. Aku amati perubahan ekspresi wajahnya, ops....kliatannya CEO tersenyum dan terdengar berkomentar: wah...ibu tau aja makanan kesukaan ayah. Wow..leganya...aku terus duduk disebelahnya sambil ikut menikmati pisang goreng yang aku anggap bisa mengembalikan energi CEO. Banyak hal-hal ringan yang kami bicarakan seperti hari ini rencana kerjanya apa atau perihal anak-anak yang sulit dibangunkan di pagi hari. ”Itulah bu, ibu kebanyakan diluar rumah, akibatnya anak-anak ngga terkontrol jam tidurnya. Sudah beberapa malam ayah pulang, ibu sudah tidur. Sementara anak-anak masih belum tidur dan entah jam berapa mereka baru tidur. Akibatnya paginya susah bangun,” ucap CEO. Oo...tiba-tiba saja aku merasa mendapat jawaban dari semua pertanyaanku selama ini. Hmmm...akhirnnya, diplomasi pisang goreng berhasil menguak tabir. Baru aku tersadar bulan ini memang aku bekerja terlalu keras mulai hari Senin sampai Senin, termasuk hari Sabtu dan Minggu juga mengajar kelas karyawan program S-1. Rupanya CEO merasa aku terlalu banyak kegiatan diluar rumah yang berakibat perhatianku pada keluarga juga berkurang. Anak-anak kurang terkontrol jadwal kegiatannya dan CEO selama 4 hari ini pulang kerumah dalam keadaan aku sudah tertidur. Dan hal-hal tersebut kurang disukainya. O..jadi itu penyebab CEO tidak bersemangat sepanjang malam tadi. Maaf ya pak CEO, besok tidak akan terjadi lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar