Dua eksekutif muda berkolaborasi. Opss..itu komentar salah seorang senior saya di kampus. CEO dan saya memang bertemu di dunia kerja. Semula kami bekerja di perusahaan yang sama namun kami berbeda profesi. Dua tahun kemudian saya beralih perusahaan, tapi sepertinya Allah mentakdirkan kami selalu bertemu. Apakah kami saling mencintai..? Itu masih menjadi pertanyaan besar bagi kami berdua. Dan sampai sekarang kami sepakat untuk tidak membahasnya. Harus diakui pernikahan kami banyak didasari oleh pertimbangan logika dan akal sehat. Kami menikah disaat usia kami sama-sama 28 tahun. Tetapi itu bukan alasan ketika kami sepakat berjuang menghadapi masa depan bersama-sama. Ada 3 hal mengapa akhirnya saya memutuskan untuk setuju dengan idenya hidup bersama:
Pertama, CEO adalah seorang yang sangat religius dimata saya. Kami -saat itu- memang sering sepakat untuk bertemu, tetapi yang kami bahas biasanya ya seputar pekerjaan. Relasi kami tidak romantis. Bahkan kami selalu berusaha tidak saling romantis. Tidak ada waktu bertemu yang pasti. pada saat itu kami memiliki aktivitas masing-masing yang sangat berbeda. Saya banyak beraktivitas dengan kegiatan komersial saya; sementara CEO saya perhatikan sibuk dengan teman-teman pengajian. CEO sangat mengutamakan kegiatan yang satu ini bersama komunitasnya. Tapi CEO adalah seorang religius yang intelek. Pintar mengkaji Al Qur'an (dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari) tetapi juga mampu berfikir ilmiah dan selalu mengikuti perkembangan dunia modern. CEO bukanlah seorang agamis yang kuper dan terisolir dari dunia modern tetapi tetap konsisten dan berpegang pada nilai-nilai keagamaan. Tidak banyak pribadi seperti ini.
Kedua, CEO adalah seorang pribadi yang cerdas. Ini terlihat dari kualitas komunikasi baik verbal maupun non-verbal. Proses berfikirnya runtut dan berkualitas. CEO akan berkata atau bertindak setelah proses berfikir dilakukan. Tindakannya selalu hati-hati. Pilihan kata-katanya pun selalu tepat. Bicara sedikit tetapi berkualitas. Salah seorang atasan saya -di salah satu bank besar terkemuka bapak Trahono- pernah memuji logika berfikirnya.
Ketiga, CEO adalah seorang yang sangat low profil -rendah hati-. CEO tidak pernah bersikap membanggakan diri. Inilah yang sering memancing anggapan orang bahwa beliau adalah seorang yang sederhana. Sebetulnya, CEO adalah seorang bercita-cita ambisius -tinggi- dan memiliki selera yang juga sangat baik. Jika kita mengenalnya dengan baik, CEO bukanlah seseorang dengan karakter yang sederhana. Hanya sikap rendah hati nya itulah yang sering diartikan orang sebagai sederhana. Salah seorang eksekutif di perusahaan -tempat kami bekerja sebelumnya, sebut saja Bapak Nusrat- pernah berkomentar bahwa kami bukanlah pasangan yang cocok, karena CEO adalah seorang pribadi yang sederhana; sementara saya adalah pribadi yang 'perfectionist'. Bahkan katanya banyak kolega yang terkejut atas penikahan kami. Oopss...seandainya beliau tahu yang sesungguhnya.
Itu alasan mengapa akhirnya kami sepakat bersama. Pertimbangan logika yang menjadi dasar pernikahan kami, justeru terasa menenangkan kami berdua. Kami tidak pernah saling curiga bahkan terlalu saling mempercayai. Kami banyak melakukan aktivitas kami sendiri-sendiri. Semua berjalan begitu lancar seperti aliran air sungai Times...he..he..he...
Pekerjaan saya yang begitu padat plus urusan dua balita memang banyak menyita perhatian. CEO tentu saja lebih sibuk lagi. Apalagi setelah mengelola perusahaan sendiri. pekerjaannya sering mengharuskannya bekerja berminggu-minggu tanpa pulang kerumah. sampai-sampai pernah puteri terbesar kami menangis takut padanya karena difikirnya CEO adalah orang asing. Disaat CEO berada jauh dari rumah kami juga jarang berkomunikasi. Padahal Bapak Edison, rekan kerja saya pernah bilang seharusnya kemampuan keuangan, penampilan yang representative, interpersonal ability yang hangat ditambah situasi kerja yang penuh dengan godaan alam dunia, seharusnya merupakan racun mematikan yang bisa merusak fikiran saya ketika dirinya berada jauh dari jangkauan. tapi itu kod tidak pernah terjadi ya..?
Tampaknya ada beberapa hal yang membuat kami nyaris selalu menjadi dua orang sahabat baik:
Pertama, kami adalah dua orang yang sama-sama memiliki jadwal kegiatan yang relatif tinggi, sehingga tidak memiliki cukup waktu untuk mempersoalkan hal-hal sepele. Mungkin ada sesuatu yang tidak saya setujui -atau pun sebaliknya- tetapi kami tidak memiliki cukup waktu untuk membahasnya, dan berfikir selama hal-hal tersebut tidak menimbulkan masalah serius perlahan kami singkirkan dan akhirnya terlupakan;
Kedua, memiliki pandangan positif perihal CEO. Hal inilah yang membuat saya selalu berfikir bersih tentang CEO.
Ketiga, rasa percaya diri yang saya miliki bahwa saya adalah seseorang yang berharga bagi CEO membuat saya nyaman disaat saya berada dekat ataupun jauh dari CEO. Rasa percaya diri ini kelihatan tumbuh begitu baik karena saya yakin bahwa memiliki beberapa nilai lebih dimata CEO.
Jumat, 10 Desember 2010
Minggu, 21 November 2010
Bagian ke-2: CEO Selalu Benar
Sebagai mantan seorang banker, menyimpan dana tunai sudah menjadi kebiasaanku. Bukan hal yang aneh, jika hanya ditemukan uang sejumlah lima puluh ribu rupiah saja di dompetku. Sekedar pas untuk beli bensin atau tranpor Kereta Api dalam kota ber AC. Jadi jangan heran kalau saya bisa bolak balik ke ATM lebih dari satu kali dalam sehari. Beruntung tempat tinggalku juga dikelilingi oleh butik ATM dari berbagai bank. Apalagi sekitar tempat kerjaku. Salah seorang teman pernah memberi masukkan:”Apa tidak capai mengantri”,ucapnya. ”Capai sih, tapi kebiasaanku yang mudah mengeluarkan sejumlah dana untuk membeli makanan membuatku merasa lebih bisa mengontrol kalau dana yang ada tidak terlalu mudah diambil,”jawabku ringan.
Seperti biasa malam ini bersiap-siap buat beraktivitas besok. Semua perlengkapan yang berkaitan dengan kegiatan besok pagi harus dipersiapkan malam ini. Karena pagi hari selalu menjadi hari yang super ketat. Kulihat isi dompetku, total hanya ada empat puluh tujuh ribu rupiah. Ya cukuplah untuk berangkat ke wilayah Kramat, menggunakan kereta dalam kota ber AC, makan siang di rumah makan padang –biasanya habis sekitar duabelas ribu lengkap dengan sebuah pisang ambon-. Besok hari Selasa jadwal mengajarku memang padat. Mulai dari pukul 8:00 pagi sampai dengan pukul 20:40 WIB. Ini sama juga dengan mengajar tiga shift, yaitu: mahasiswa kelas pagi, kelas siang, dan kelas malam. Keliatannya capai ya? CEO sering berkomentar seperti itu.
”Aku melihat ibu bekerja seperti ini aja capai, apalagi yang menjalaninya?”, komentarnya.
O ya ada beberapa kali kudengar CEO berbicara seperti itu. Tapi sejujurnya, aku tidak merasa capai kod. Entah mengapa berdiri di depan para mahasiswa, berbagi pengetahuan selalu terasa sangat menyenangkan. Jadi seperti sedang mengobrol rileks saja, yang penting harus makan siang, beberapa gelas air putih, dan secangkir kopi. Biasanya adrenalinku terus konsisten meningkat walaupun harus mengajar sepanjang tiga shift tadi. Berinteraksi dengan para mahasiswa yang tentu saja berusia muda dan enerjik seperti mereka selalu mengingatkanku akan masa-masa muda yang penuh aktivitas. Mereka seumuran anak-anakku. Senang saja menghadapi mereka, walau kadang mereka terasa sedikit lambat (dalam menerima materi), tapi melihat semangat belajar mereka jadi semakin bersemangat juga berbagi pengetahuan. Singkat kata situasi pekerjaan yang aku jalani sangat sangat aku nikmati. Jadi kalau CEO berkomentar demikian sebenarnya tidak sepenuhnya benar. Tapi aku tersenyum saja mendengar komentar. Senyum sambil menatap lekat ke matanya dan menikmati wajah putih bersih, agak bulat, hidung mancung yang selalu membuat aku terus bersyukur telah menjadi pendamping hidupnya.
”Hm..cukuplah empatpuluh tujuh ribu untuk besok, toh pulangnya CEO berjanji menjemputku agar bisa pulang bersama-sama,”pikirku.
”Bu, besok aku perlu dana ya. Bisa tolong ambil?” terdengar CEO berbicara. Ops, begitu ya.
”Ayah, pegang debet card ibu saja ya. Ibu khawatir tidak ada kesempatan ke ATM besok,”jawabku.
”Ya, boleh,”lanjutnya.
Aku segera memindahkan kartu ATM ku ke dompetnya sambil kuberitahu nomor PIN nya. Sekedar mengingatkan saja, sebab disaat membuka kartu tersebut sebenarnya CEO sendiri yang membuat nomor PIN nya. CEO membuat sesuai tanggal yang aku yakin selalu diingatnya. Tapi mengingat CEO memang memiliki beban fikiran yang besar, ya kuingatkan lagi berapa nomor PIN debet card tersebut.
”Ok”, CEO menjawab ringan. Ucapannya memang selalu terdengar menyenangkan dan sedikit menggoda kalau berbicara. Hal-hal inilah yang selalu membuat aku semakin dan semakin yakin bahwa CEO adalah pendamping hidup terbaik buatku. Walaupun kami tak pernah yakin apakah kami saling mencintai. Aneh ya?
Tepat pukul 06:15 aku bergegas meninggalkan rumah. Berpamitan spesial terhadap CEO dan limabelas menit kemudian sudah bergabung dengan ribuan komuter didalam kereta api dalam kota ber AC. Berdiri dan agak padat, tetapi perjalanan cara ini selalu menyenangkan buatku. Pertama, bebas macet. Kedua, murah. Tiketnya hanya delapan ribu rupiah. Bandingkan dengan harga bensin pertamax yang harus aku keluarkan jika berangkat menggunakan kendaraan pribadi. Dan ketiga, jarak tempuhnya hanya sekitar duapuluh menit. Efektif dan efisien. Asal tidak membawa perlengkapan yang terlalu berat, seperti laptop dan LCD sekaligus. Karena menenteng keduanya selama duapuluh menit lumayan memerlukan energi. Sementara jika aku taruh di bagian atas tempat barang, khawatir terlupa. Maklumlah pernah dua kali aku ketinggalan perlengkapan berharga karena lupa mengambilnya kembali disaat turun. Dan kedua barang tersebut tidak pernah kembali sampai sekarang. Entahlah, apa ada bagian ”Lost and Found” dilingkungan transportasi jenis ini.
”Itu faktor umur,”canda CEO.
”Ya, ihklaskan saja,”imbuhku.
Sesuai perkiraan pukul 07:30 aku sudah tiba di kampus yang katanya para mahasiwanya siap untuk masuk dunia indusri segera setelah lulus kuliah. Pakem pertama masuk kampus adalah mampir ke toilet. Sepanjang gerbang sampai lantai kedua –tempat dimana toilet favoritku berada- para mahasiswa yang berusaha tampil keren tersebut memberi ucapan salam Hm, mereka sopan-sopan sekali ya. Beberapa ada juga yang mengajak bersalaman bahkan mencium tanganku. Nah, biasanya kalau sudah satu orang mulai mencium tanganku yang lain pasti melakukan hal yang sama. Wah, kapan sampai di toilet ya? ”Para mahasiwaku yang cantik dan ganteng, yang wanita boleh cium tangan tapi yang laki-laki tidak perlu ya nak,”kataku dengan nada suara seorang ibu terhadap anaknya. Aku tahu hal tersebut mereka lakukan karena respek, tetapi melihat mereka sudah besar-besar bahkan badannya lebih besar dariku, risih juga ya diperlakukan seperti itu. Bagiku menundukan kepala sambil tersenyum sudah cukup.
”Asslammualaikum bu,”suara ramah Odi –office boy yang selalu sedang membersihkan ‘wash-bassin’ ketika aku datang-.
“Waallaikumsalam Odi, apa kabar. Toilet kosong,”tanyaku spontan.
”Ya bu kosong, silahkan,” jawabnya.
Wuih, ramah dan sopan sekali ya dia. Ya inilah enaknya menjadi dosen disini. Semuanya ramah dan sopan.
Harum rasa lemon tercium lembut begitu memasuki toilet. Aku suka harumnya, selalu membuatku kangen kembali ke kampus disaat libur panjang akhir semester. Mengambil air wudhu, shalat dhuha, dilanjutkan mempercantik wajah. Semua nya beres dalam waktu duapuluh menit saja. Masih ada sisa waktu sepuluh menit, untuk mengambil daftar hadir dan meminta bagian pendidikan mempersiapkan peralatan kuliah.
Harus melewati satu tahap anak tangga untuk sampai di ruang dosen.
”Assalammualaikum bu Gemala,”sahabat terbaikku bu Ida menyapa ramah.
”Waalallikumsalam Warrahmatullahhiwabarakatuh bu Ida, sehat,” jawabku riang. Kami saling menempelkan pipi kanan dan kiri. Di ruang dosen sudah hadir beberapa dosen lain dengan jadwal yang sama. Ada Pak Muti, Ibu Asti, Ibu Syarief, Ibu Eldrida, dan beberapa dosen lainnya. Setelah saling menyapa, kamipun bersiap-siap menuju kelas masing-masing. Semua kelas ada di lantai ke empat. Satu lantai lagi, Ayo semangat!!!
Jam-jam pada shift kesatu, kedua, dan ketiga berlalu dengan sangat menyenangkan. Dosen dan mahasiswanya bersemangat. Handphoneku berbunyi. Ada pesan masuk. Siapa lagi kalau bukan dari CEO yang sudah siap dihalaman parkir. Harus segera. Kasihan kalau CEO harus menunggu lama.
”Alright, class I think time is over. So, why don’t we close our lecture by praying together,”kataku dalam bahasa Inggris.
Ya..walaupun materi yang aku berikan bukan bahasa Inggris, tapi dikelas kami selalu berusaha menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Tujuanku untuk melatih diriku dan juga melatih mahasiswaku terbiasa berbicara dalam bahasa Inggris.
Salah seorang mahasiswa memimpin doa bersama, isinya kurang lebih seperti ini:
Dear Gog Almighty,
We thank you,
That the lecture has gone smoothly.
We hope this will be useful for our future career.
Please protect us, on our way home.
Amin.
Cukup bagus kan doanya. Mereka memang aku latih mengucapkan doa tersebut. Tapi sesungguhnya doa itu bukan karangan asliku. Yang menyusun kata demi kata tersebut, adalah salah seorang rekan dosen senior yang kukagumi. Ibu Tatiek, namanya. Kami sangat akrab. Aku suka doa yang selalu beliau ajarkan kepada mahasiswanya. Kebetulan beliau memang dosen bahasa Inggris. Jad kucontek saja doanya yang kunilai bagus itu. Terimakasih ya bu. Semoga melalui doa tersebut amal ibadah ibu terus bertambah dan bertambah lagi. Amin.
”Maksih ya mba Indah,”kataku pelan sambil menyerahkan daftar hadir. Aku segera turun. Dua lantai kebawah lagi. Cepat tapi tetap harus hati-hati. Tangganya lumayan curam dan tidak ada ’slippery steps’ nya.
Dari gerbang kampus, sedan hitam yang selalu berkilat bersih itu sudah menunggu di parkiran tidak jauh dari gerbang. Hanya berjarak limapuluh meteran. CEO selalu penuh percaya diri memarkir kendaraannya didekat gerbang. Terlihat bayangan kepalanya dibalik kaca mobil. Aku segera duduk disebelahnya. Rupanya CEO sedag asyik melihat berita gunung Merapi.
”Sampe jam berapa ayah,”sapaku.
”Pas aku sms tadi,”katanya.
”Makasih ya sudah menjemput,”kataku lagi sedikit meledek.
”O..tidak apa-apa bu, senang menjemput ibu,”katanya dengan gaya yang juga meledek.
Mobil meluncur pelan keluar lingkungan kampus. Jalanan ramai lancar. Maklum sudah pukul 20:45.
”Tadi aku tidak jadi ambil uang dari debet-card,”tiba-tiba CEO berkata.
”Lho, kenapa?”tanyaku agak heran.”Kan uang ayah sudah disimpan di debet-card ibu semua,”Lanjutku lagi.
”Kartunya diblokir ATM,”jawabnya ringan.
”Kod bisa?”lagi-lagi aku keheranan.
”Aku tiga kali salah pencet nomor PINnya,”jawabnya santai.
”Lalu?”tanyaku lagi mulai cemas. Maklum semua dana operasional rumah tangga masih tersimpan disana.
“Ya, ibu perlu ke bank untuk membuka pemblokirannya,”katanya lagi.
Aku mulai mengerutkan kening. Waduh..kapan bisa ke bank Seminggu ini jadwal kuliah begitu padat. Tidak seperti karyawan kantoran yang bisa izin saat jam kantor, aku tidak bisa meninggalkan murid-muridku untuk mengurus hal tersebut?” pikirku. Tapi pertanyaan itu cuma ada dalam pikiran. Kalau dilihat dari cara bicaranya, nyata sekali CEO tidak akan mau disalahkan dalam kasus ini. Jadi aku berusaha menahan diri untuk menyalahkannya.
“Ibu tidak mencatatkan sih nomor PINnya,”tambahnya lagi.
Betulkan kan CEO mulai menunjukkan sikap-sikap seolah-olah ini salahku.
”Biasanya kan ibu selalu mencatatkan nomor PINnya. Kod kali ini tidak. Aku jadi lupa,”setidaknya tiga kali kalimat itu diulang-ulangnya.
”Kan ayah tahu nomor PIN nya sesuai dengan tanggal ulangtahun ibu,”aku mencoba sedikit membela diri tapi dengan intonasi suara yang semanis mungkin.
”Ya nomor-nomor atmnya ada penutupnya, jadi aku salah pencet,” katanya lagi.
”Harusnya kalau sudah salah kedua, ayah telepon ibu,”jawabku masih berusaha mengomentari alibinya.
”Aku pikir yang ketiga pasti benar,”katanya lagi.
Wah.wah..sudahlah pembicaraan sepertinya memiliki potensi untuk memanas. Aku tahu CEO pasti banyak beban pikiran. Lelah phisik maupun psikis. CEO sudah mau meluangkan waktu ke ATM mengambil uang sendiri, sudah bagus. Terlebih CEO juga sudah mau meluangkan waktu menjemputku. Kedua hal itu saja sudah merupakan pengorbanan yang luar biasa bagi orang sesibuk CEO. Jadi aku berusaha tidak membahasnya lebih lanjut. Aku tidak perlu penjelasan lagi. Aku juga tidak perlu menuntutnya untuk meminta maaf, karena akan membuat sedikit repot. Aku juga tidak perlu kesal karena solah-olah aku yang dipersalahkan dalam kasus ini. Yang terpenting bagaimana bisa secepatnya mengurus kartu yang terblokir, sehingga operasional rumah tangga tidak terganggu? Aku segera mengalihkan pembiacaraan pada hal-hal lain yang lebih menyenangkan. Dimulai dengan pertanyaan: ”Ayah sudah makan malam?”. Tanyaku.
“Belum, yuk cari tempat makan,” responnya cepat.
CEO selalu benar…
Rabu, 17 November 2010
Bagian ke-1: Diplomasi Pisang Goreng Isi Keju
Suara dering khas Nokia berbunyi tepat jam 03:00 dinihari. Seperti biasa sang CEO terbangun. Tapi tidak seperti hari-hari sebelumnya, kali ini beliau tidak menyelimuti diriku. Selimut yang biasanya tercecer kemana-mana dibiarkan saja. Aku yang tidur tanpa berselimut ditinggalkannnya begitu saja. Padahal baru tiga hari yang lalu aku memujinya di depan sahabatku –Ida-. Aku ceritakan bahwa setiap dia terbangun tepat jam 03:00 dini hari – dimana saat itu aku ikut terbangun juga- dia selalu dengan hati-hati menyelimuti diriku sehingga mulai dari ujung kaku sampai leher terselimuti sempurna. Jujur saja, saya senang diperlakukan seperti itu. Makanya walaupun aku sudah terbangun biasanya pura-pura tidur saja. Entah dia tahu atau tidak ya sikapku tersebut?
Tidak berapa lama tersengar suara kran di kamar mandi berbunyi nyaring. Itu tanda sang CEO sedang mandi. Semua ritual mandi dilakukannya tidak kurang dari 30 menit. Mulai dari membersihkan diri, menyikat gigi, mencukur jenggot, dan mengolesi rambutnya dengan ’lotion’ anti rontok rambut. Ah...dia memang sangat pembersih dan perduli dengan penampilannya, padahal aku saja yang perempuan paling cuma perlu waktu 10 menit untuk mandi. Tapi harus kuakui hasil kerja kerasnya membersihkan diri membuatnya sedap dipandang mata. Hal itu sering membuat diriku merasa sangat beruntung telah dinikahinya delapan-belas tahun yang lalu.
Aku tetap tidak beranjak dari atas kasur. Bagiku bangun jam begini terlalu pagi. Bunyi pintu kamar mandi membuatku melanjutkan memejamkan mata tetapi sambil terus mengamati kegiatannya. Tentu hanya dengan mengandalkan indra pendengaranku saja. Sepertinya dia mulai memilih-milih baju yang akan digunakannya untuk shalat malam. Biasanya dia memilih baju koko hitam atau putih, terkadang kemeja motif batik lalu dipadupadankan dengan kain sarung dan kopiah. Dia punya banyak kopiah. Itu semua merupakan pemberian dari adik, kakak, dan papaku sepulang menunaikan ibadah haji. Ya tidak satupun dari kopiah-kopiah itu yang dibelinya sendiri. Tapi cuma satu kopiah yang sering digunakan olehnya, yaitu kopiah berwarna hitam dengan sulaman benang perak. Kopiah itu katanya pas dengan bentuk kepalanya, jadi paling enak dipakai. Kopiah tersebut diberi oleh adik bungsu saya yang sepulangnya dari Mekah tiga tahun yang lalu. Sudah lama ya, tapi tetap terlihat bagus dan terawat. Begitulah dia, selalu merawat barang-miliknya dengan baik.
Ruang shalat kami letaknya tepat disebelah ruang dimana kami biasa tertidur. Ruang itu disekat oleh pintu geser yang posisinya selalu dibuka. Jadi klo dia shalat disana, aku dapat dengan jelas melihat bagian belakang tubuhnya. Shalatnya lama. Dia selalu memilih ayat yang panjang-panjang rupanya. Jumlah seluruh rakaatnya selalu sebelas rakaat. Tepat jam 03:50 biasanya saya terbangun. Hal yang pertama saya lakukan adalah menyikat gigi lalu mengambil air wudhu. Tanpa berganti baju saya bergegas menuju ruang shalat untuk mengambil mukena dan sajadah. Seperti hari-hari yang lalu aku lihat dia masih belum menyelesaikan shalatnya. Aku biasanya shalat diruangan dekat kasur tidur. Itu karena shalat malamku biasanya cepat saja, yaitu dua rakaat shalat tahajud ditambah tiga rakaat shalat witir. Doanyapun dipilih yang pendek-pendek. Dia suka meledek sikapku ini. Makanya aku menghindar shalat didekatnya. Biasanya aku cuma membalasnya dengan senyum jika dia meledek perihal shalatku yang cepat dibandingkan dirinya. Ritual shalatku cuma perlu waktu limabelas menit. Selanjutnya konsentrasi tertuju ke dapur. Menyiapkan sarapan untuknya dan kedua anak kami. Bukan hanya itu. Kedua anakku senang membawa bekal nasi ke sekolah. Jadilah pagi hari merupakan saat-saat yang penuh tekanan karena semua harus sudah siap sebelum pk.06:00. O..ya kembali ke CEO, beliau kulihat masih terus bersimpuh di sajadahnya. Terus berdoa sampai adzan subuh tiba. Dia terlihat begitu khusu dan fokus. Berbeda dengan aku yang selalu tergesa-gesa. Tapi aku sempat tertegun, pagi ini dia terlihat agak lemah dan kurang semangat. Dia juga tidak berkata-kata apapun kecuali memintaku membangunkan putra bungsuku agar bersiap-siap shalat subuh. Kenapa ya dia?
Mesjid di komplek kami yang hanya berjarak 50 meter dari rumah kami mulai mengumandangkan adzan subuh. Allahuakabar...Allahuakbar....terdengar keras dengan bantuan pengeras suara. Terlihat dia bergegas keluar rumah menuju mesjid. Tanpa bicara hanya terdengar suara kunci terputar dilubangnya. Dia biasanya membiarkan kami terkunci di dalam rumah. Aku mengintip melalui jendela kamar anakku, kulihat langkah lemah dan tidak secepat biasanya. Ah...Baru kusadari ini hari keempat dia terlihat berjalan begitu lambat, padahal adzan sudah berkumandang.
Banyak pertanyaan yang mampir dikepalaku. Mengapa sejak empat hari lalu dia tidak lagi sibuk menggoda saya. Biasanya ada-ada saja dia menggodaku. Mulai dari menyingkirkan makanan yang hendak kumakan sampai dengan bercanda mengajaku menikmati secangkir kopi. Sejak empat hari ini dia juga tidak lagi memberi pujian. Padahal biasanya berbagai pujian berhamburan dari bibirnya. ”Masakan ibu enak atau ibu super woman atau berbagai pujian indah lainnya”. Bukan hanya itu, sejak empat hari ini juga dia hanya menjawab singkat-singkat setiap pertanyaanku. Duh, jujur situasi ini sangat tidak mengenakkan. Tiba-tiba saja baru kusadari setelah semua keanehan itu berjalan selama empat hari. Ingin bertanya, tapi bagian otakku yang lain selalu melarangnya. Karena dua hari yang lalu pernah aku mencoba bertanya perihal wajahnya yang tampak kurang bersinar, dan dia tidak memberi reaksi apa-apa. Ya, suatu saat yang tepat pasti akan kutanyakan. Karena selama delapan-belas tahun perkawinan kami, komunikasi kami selalu lancar dan penuh keterbukaan. Kadang setelah berbicara dengan penuh kejujuran kami saling kesal. Tapi itu cuma hitungan menit. Setelah itu kami dengan cepat melupakan semuanya dan mulai saling menggoda lagi. Hm manisnya hidup.....
Pekerjaan pagi menggelinding seperti ban berjalan cepat dan terasa singkat. Mataku terus sibuk melirik ke jam dinding, khawatir target sarapan bersama jam 05:30 tidak tercapai. Nasi putih, omellet, pie susu, dan empat gelas teh hangat siap. Alhamdulillah. Dia pun terdengar sudah di depan pintu rumah, pulang dari mesjid. Pas waktunya, selalu akhirnya tersenyum lega karena bisa melalui pagi yang ketat dengan baik.
Menit demi menit berlalu sambil terus mengamati ketidakbiasaan sang CEO, tanpa sekalipun berani bertanya mengapa. Selama delapan belas tahun menikah membuatku hapal betul kapan waktuku untuk bertanya atau mencoba mencari jawaban sendiri jawaban atas semua tanya yang ada. Kucoba mengingat-ingat beberapa hal berkaitan dengan sikapku terhadapnya. Adakah yang salah? Melakukan instropeksi seringkali merupakan cara terbaik untuk menemukan jawaban atas segala tanya. Tapi jawaban belum juga muncul, sambil menunggu jawaban yang terasa pas, mungkin baik melakukan hal-hal yang menyenangkan hatinya. Kutengok jam menunjukkan 05.55, itu artinya kedua buah hati kami harus bersiap-siap menuju sekolah. Aku pun harus bergegas karena tepat pk. 10:00 pagi tidak kurang dari 38 mahasiswa menungguku di kelas. Ada waktu sekitar 3 jam untuk melakukan hal-hal yang menyenangkannya.
Selepas kepergian Alifa dan Alif, saya bergegas mencari abang sayur yang biasa sudah dikerumi sekelompok ibu-ibu di gerbang komplek perumahan kami. Ini sebenarnya tukang sayur langganan kami. Namun biasanya baru lewat depan rumahku sekitar pk.08.00 pagi. Saat saya berangkat ke kantor dipagi hari biasanya saya melihatnya sudah dikerumuni ibu-ibu pembeli di gerbang komplek. Yap...pisang kepok 1 sisir, pisang tanduk 5 buah, termasuk pisak ambon 3 pasang aku beli sekaligus. Pisang ini memang kesukaan sang CEO. Apalagi? O..ya..tahu, tempe, serta brocolli dan kacang merah plus daging sapi. Walau bukan vegetarian, CEO ku memang lebih menyukai sayur-sayuran ketimbang daging-daging atau ikan. Jadi kalaupun mengolah daging hanya diambil kaldunya, sementara dagingnya dibuat empal buat konsumsi aku atau anak-anak.
Yang menjadi prioritas adalah membuat pisang goreng isi keju. Wah ini makanan favorit CEO. Tidak perlu waktu terlalu lama, dalam waktu 30 menit camilan istimewa tersebut sudah terhidang dihadapan sang CEO. ”Ayo pisang goreng isi keju dan susu vanila hanta.” aku berucap sambil senyum semanis mungkin. Ya..kami selalu saling bersikap manis. CEO sekilas menatapkan camilan kesukaannya. Aku amati perubahan ekspresi wajahnya, ops....kliatannya CEO tersenyum dan terdengar berkomentar: wah...ibu tau aja makanan kesukaan ayah. Wow..leganya...aku terus duduk disebelahnya sambil ikut menikmati pisang goreng yang aku anggap bisa mengembalikan energi CEO. Banyak hal-hal ringan yang kami bicarakan seperti hari ini rencana kerjanya apa atau perihal anak-anak yang sulit dibangunkan di pagi hari. ”Itulah bu, ibu kebanyakan diluar rumah, akibatnya anak-anak ngga terkontrol jam tidurnya. Sudah beberapa malam ayah pulang, ibu sudah tidur. Sementara anak-anak masih belum tidur dan entah jam berapa mereka baru tidur. Akibatnya paginya susah bangun,” ucap CEO. Oo...tiba-tiba saja aku merasa mendapat jawaban dari semua pertanyaanku selama ini. Hmmm...akhirnnya, diplomasi pisang goreng berhasil menguak tabir. Baru aku tersadar bulan ini memang aku bekerja terlalu keras mulai hari Senin sampai Senin, termasuk hari Sabtu dan Minggu juga mengajar kelas karyawan program S-1. Rupanya CEO merasa aku terlalu banyak kegiatan diluar rumah yang berakibat perhatianku pada keluarga juga berkurang. Anak-anak kurang terkontrol jadwal kegiatannya dan CEO selama 4 hari ini pulang kerumah dalam keadaan aku sudah tertidur. Dan hal-hal tersebut kurang disukainya. O..jadi itu penyebab CEO tidak bersemangat sepanjang malam tadi. Maaf ya pak CEO, besok tidak akan terjadi lagi.
Langganan:
Komentar (Atom)