Jumat, 10 Desember 2010

Bagian ke-3: Berfikir Positif

Dua eksekutif muda berkolaborasi.  Opss..itu komentar salah seorang senior saya di kampus. CEO dan saya memang bertemu di dunia kerja.  Semula kami bekerja di perusahaan yang sama namun kami berbeda profesi.  Dua tahun kemudian saya beralih  perusahaan,  tapi sepertinya Allah mentakdirkan kami selalu bertemu.  Apakah kami saling mencintai..?  Itu masih menjadi pertanyaan besar bagi kami berdua.  Dan sampai sekarang kami sepakat untuk tidak membahasnya.  Harus diakui pernikahan kami banyak didasari oleh pertimbangan logika dan akal sehat.  Kami menikah disaat usia kami sama-sama 28 tahun.  Tetapi itu bukan alasan ketika kami sepakat berjuang menghadapi masa depan bersama-sama.  Ada 3 hal mengapa akhirnya saya memutuskan untuk setuju dengan idenya hidup bersama:
Pertama, CEO adalah seorang yang sangat religius dimata saya.  Kami -saat itu- memang sering sepakat untuk bertemu, tetapi yang kami bahas biasanya ya seputar pekerjaan.  Relasi kami tidak romantis.  Bahkan kami selalu berusaha tidak saling romantis.  Tidak ada waktu bertemu yang pasti.  pada saat itu kami memiliki aktivitas masing-masing yang sangat berbeda.  Saya banyak beraktivitas dengan kegiatan komersial saya; sementara CEO saya perhatikan sibuk dengan teman-teman pengajian.  CEO sangat mengutamakan kegiatan yang satu ini bersama komunitasnya.  Tapi CEO adalah seorang religius yang intelek.  Pintar mengkaji Al Qur'an (dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari) tetapi juga mampu berfikir ilmiah dan selalu mengikuti perkembangan dunia modern.  CEO bukanlah seorang agamis yang kuper dan terisolir dari dunia modern tetapi tetap konsisten dan berpegang pada nilai-nilai keagamaan.  Tidak banyak pribadi seperti ini.

Kedua, CEO adalah seorang pribadi yang cerdas.  Ini terlihat dari kualitas komunikasi baik verbal maupun non-verbal.  Proses berfikirnya runtut dan berkualitas.  CEO akan berkata atau bertindak setelah proses berfikir dilakukan.  Tindakannya selalu hati-hati.  Pilihan kata-katanya pun selalu tepat.  Bicara sedikit tetapi berkualitas.  Salah seorang atasan saya -di salah satu bank besar terkemuka bapak Trahono- pernah memuji logika berfikirnya.

Ketiga, CEO adalah seorang yang sangat low profil -rendah hati-.  CEO tidak pernah bersikap membanggakan diri.  Inilah yang sering memancing anggapan orang bahwa beliau adalah seorang yang sederhana.  Sebetulnya, CEO adalah seorang bercita-cita ambisius -tinggi- dan memiliki selera yang juga sangat baik.  Jika kita mengenalnya dengan baik, CEO bukanlah seseorang dengan karakter yang sederhana.  Hanya sikap rendah hati nya itulah yang sering diartikan orang sebagai sederhana.  Salah seorang eksekutif di perusahaan -tempat kami bekerja sebelumnya, sebut saja Bapak Nusrat- pernah berkomentar bahwa kami bukanlah pasangan yang cocok, karena CEO adalah seorang pribadi yang sederhana; sementara saya adalah pribadi yang 'perfectionist'.  Bahkan katanya banyak kolega yang terkejut atas penikahan kami. Oopss...seandainya beliau tahu yang sesungguhnya.

Itu alasan mengapa akhirnya kami sepakat bersama.  Pertimbangan logika yang menjadi dasar pernikahan kami, justeru terasa menenangkan kami berdua.  Kami tidak pernah saling curiga bahkan terlalu saling mempercayai.  Kami banyak melakukan aktivitas kami sendiri-sendiri.  Semua berjalan begitu lancar seperti aliran air sungai Times...he..he..he...
  
Pekerjaan saya yang begitu padat plus urusan dua balita memang banyak menyita perhatian.  CEO tentu saja lebih sibuk lagi.  Apalagi setelah mengelola perusahaan sendiri.  pekerjaannya sering mengharuskannya bekerja berminggu-minggu tanpa pulang kerumah.  sampai-sampai pernah puteri terbesar kami menangis takut padanya karena difikirnya CEO adalah orang asing.   Disaat CEO berada jauh dari rumah kami juga jarang berkomunikasi.  Padahal Bapak Edison, rekan kerja saya pernah bilang seharusnya kemampuan keuangan, penampilan yang representative, interpersonal ability yang hangat ditambah situasi kerja yang penuh dengan godaan alam dunia, seharusnya merupakan racun mematikan yang bisa merusak fikiran saya ketika dirinya berada jauh dari jangkauan.  tapi itu kod tidak pernah terjadi ya..?
Tampaknya ada beberapa hal yang membuat kami nyaris selalu menjadi dua orang sahabat baik:
Pertama, kami adalah dua orang yang sama-sama memiliki jadwal kegiatan yang relatif tinggi, sehingga tidak memiliki cukup waktu untuk mempersoalkan hal-hal sepele.  Mungkin ada sesuatu yang tidak saya setujui -atau pun sebaliknya- tetapi kami tidak memiliki cukup waktu untuk membahasnya, dan berfikir selama hal-hal tersebut tidak menimbulkan masalah serius perlahan kami singkirkan dan akhirnya terlupakan;
Kedua, memiliki pandangan positif perihal CEO.  Hal inilah yang membuat saya selalu berfikir bersih tentang CEO.
Ketiga, rasa percaya diri yang saya miliki bahwa saya adalah seseorang yang berharga bagi CEO membuat saya nyaman disaat saya berada dekat ataupun jauh dari CEO.  Rasa percaya diri ini kelihatan tumbuh begitu baik karena saya yakin bahwa  memiliki beberapa nilai lebih dimata CEO.